(Judul)
Suku
Baduy
(Klasifikasi umum)
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat
adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Lokasi Suku Baduy tepatnya berda di kaki
pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan
mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki
keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam. Wilayah
suku baduy sendiri terbagi kedalam 2 daerah yaitu suku baduy dalam dan baduy
luar. Suku baduy dalam merupakan suku baduy yang benar-benar masih menjaga
pikukuhnya sedangkan suku baduy luar merupakan suku baduy yang sudah berbaur
dengan masyarakat sekitarnya.
(Deskripsi)
Etimologi
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang
diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari
sebutan para peneliti Belanda yang agaknya
mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang
berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy
dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri
lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang
Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu
kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993)
Mengenal Suku Baduy
Masyarakat Suku
baduy di Banten termasuk salah satu suku yang
menerapkan isolasi dari dunia luar itulah salah satu keunikan
Suku Baduy. Sehingga wajar mereka sangat menjaga betul ‘pikukuh’ atau
ajaran mereka, entah berupa kepercayaan dan kebudayaan.
Masyarakat
suku baduy benar-benar menjaga adat Istiadatnya dan sangat menjaga alam
sekitar. Mereka sadar bahwa mereka hidup dari alam dan berdampingan dengan alam,
sehingga mereka harus memiliki kearifannya terhadap alam. Banyak ajaran Suku
Baduy berupa larangan atau anjuran yang sebenarnya di khususkan untuk menjaga
agar alam.
Wilayah
suku baduy sendiri terbagi kedalam 2 daerah yaitu suku baduy dalam dan baduy
luar. Suku baduy dalam merupakan suku baduy yang benar-benar masih menjaga
pikukuhnya sedangkan suku baduy luar merupakan suku baduy yang sudah berbaur
dengan masyarakat sekitarnya.
Suku
Baduy Dalam
Terletak di kaki pegunungan kendeng desa Kanekes,
kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak- Rangkasbitung Banten. Desa ini
merupakan jalur terakhir transportasi umum. Setelah tiba di Baduy luar, pertama
kali kita wajib lapor ke pimpinan setempat yang di panggil Jaro Pulung, beliau bertugas sebagai penghubung antara suku baduy
dengan budaya luar. Dari sini kita masih harus melanjutkan perjalanan agar tiba
di suku baduy dalam yaitu antara 3-4 jam.
Wilayah Baduy terbagi ke dalam
tiga yaitu : Cikeusik, Cibeo, Cikertawana. Menurut beberapa sumber, nama Baduy
berasal dari nama sungai yaitu Cibaduy. Dalam versi yang berbeda, nama Baduy
adalah panggilan para peneliti belanda yang mengidentikan mereka dengan Baduy
Arab, dimana kehidupannya suka berpindah-pindah. Orang baduy sebetulnya lebih
nyaman di panggilurang kanekes (orang kanekes).
Populasi masyarakat baduy
sampai hari ini di perkirakan berjumlah 5.000 – 8.000 orang. Berbeda dengan
baduy dalam, suku baduy luar atau yang sering di panggil dengan UrangPanamping sudah
menerima budaya luar. Suku baduy luar berpakain serba hitam serta rumah mereka
bertumpu pada batu.
Suku baduy dalam belum
mengenal budaya luar dan terletak di hutan pedalaman. Karena belum mengenal
kebudayaan luar, suku baduy dalam masih memiliki budaya yang
sangat asli.Suku baduy dalam tidak mengizinkan orang luar tinggal
bersama mereka. Bahkan mereka menolak Warga Negara Asing (WNA) untuk masuk.
Jadi kalau sobat-sobat punya teman bule, jangan di ajak ke baduy, kasihan
mereka nanti harus nunggu di luar. Kemudian suku baduy dalam juga
tidak mengizinkan penggunaan kamera.
Suku baduy dalam di kenal
sangat taat mempertahankan adat istiadat dan warisan nenek moyangnya. Mereka
memakai pakaian yang berwarna putih dengan ikat kepala putih serta membawa
golok. Pakaian suku baduy dalam pun tidak berkancing atau
kerah. Uniknya, semua yang di pakai suku baduy dalam adalah
hasil produksi mereka sendiri. Biasanya para perempuan yang bertugas
membuatnya. Suku baduy dalam di larang memakai pakaian modern. Selain itu,
setiap kali bepergian, mereka tidak memakai kendaraan bahkan tidak pakai alas
kaki dan terdiri dari kelompok kecil berjumlah 3-5 orang. Mereka dilarang
menggunakan perangkat tekhnologi, seperti Hp da TV.
Suku baduy dalam memiliki
kepercayaan yang di kenal Sunda Wiwitan (sunda: berasal dari suku sunda,
Wiwitan : Asli). Kepercayaan ini memuja arwah nenek moyang (animisme) yang pada
selanjutnya kepercayaan mereka mendapat pengaruh dari Budha dan Hindu. Dan
kalau melihat sejarah, kepercayaan suku baduy dalam saat ini adalah refleksi
kepercayaan masyarakat sunda sebelum masuk agama islam.
Sampai saat ini, suku baduy dalam
tidak mengenal budaya baca tulis. Yang mereka tahu, ialah aksara hanacaraka (aksara
sunda). Anak-anak suku baduy dalam pun tidak bersekolah,
kegiatannya hanya sekitar sawah dan kebun. Menurut meraka inilah cara mereka
melestarikan adat leluhurnya. Meskipun sejak pemerintahan Soeharto sampai
sekarang sudah di adakan upaya untuk membujuk mereka agar mengizinkan pembangunan
sekolah, namun mereka selalu menolak. Sehingga banyak cerita atau sejarah
mereka hanya ada di ingatan atau cerita lisan saja.
Selain itu,suku
baduy dalam juga tidak mengenal perkakas seperti yang kita tahu misal gergaji,
palu, paku. Jadi untuk membuat rumah, dibuat dengan menggunakan bahan dan
alat-alat tradisional. Di ambil dari hutan dan di kerjakan secara gotong
royong. Seperti jembatan yang di buat dengan bahan bambu, di ikat dengan tali
dan memakain pondasi dari pohon sekitar. Terlebih lagi untuk
barang-barang elektronik : Hp, Tv, Laptop atau Komputer.
Suku baduy menerima dua
kepemimpinan, pertama dari pemerintah, biasanya di pimpin olehJaro Pamarentah.
Dan pemimpin dari lingkungan mereka sendiri yang di panggil Pu’un. Pu’un
adalah pemimpin adat tertinggi di baduy dan terbagi di tiga kampung suku baduy
dalam. Jabatan pu’un lebih bersifat turun temurun namun kerabat atau anggota
keluarga lainpun bisa menjadi Pu’un. Serta tidak di berikan jangka waktu pasti,
tergantung kemampuan Pu’un tersebut memangku jabatan.
Sungai menjadi sumber dan
urat nadi kehidupan sehari-hari mereka. Dari mulai mandi, mencuci, MCK semuanya
di lakukan di sungai. Teman-teman yang berniat berkunjung ke suku baduy
dalam, persiapkan makanan seperti beras, mie instant, sarden dan lain-lain.
Nanti para ibu suku baduy yang akan membantu memasaknya. Salah satu kebiasaan
yang harus di patuhi masyarakat suku baduy dalam ialah jam tidur maksimal jam
21:00.
Biasanya kalau sesuatu terlampau
berbeda maka akan menarik perhatian banyak orang. Karena menjadi hal yang unik.
Dan di sanalah titik menariknya, terbukti ratusan orang berkunjung dalam satu
rombongan ke suku baduy dalam.
Suku Baduy Luar
Baduy luar merupakan
orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy
Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan
dikeluarkanya warga Baduy Dalam ke
Baduy Luar. Pada dasarnya, peraturan yang ada di baduy luar dan baduy dalam itu
hampir sama, tetapi baduy luar lebih mengenal teknologi dibanding baduy dalam.
Ciri-ciri khas
masyarakat:
a.
Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik,
meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy,
termasuk warga Baduy Luar.
b.
Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan
alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh
adat Baduy Dalam. (BL)
c.
Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk
laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian
modern seperti kaos oblong dan celana jeans. (BL)
d.
Kelompok masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal di
berbagai kampung yang tersebar mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam,
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. (BL)
·
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut
sebagai Sunda Wiwitan berakar pada
pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan
selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan
tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting
dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan
apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
·
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan
tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka
juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka
dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Masyarakat
Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan
masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari
perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara
otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari
kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat
Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten(Garna, 1993). Sampai
sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa
menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten
(sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian,
penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam
sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
.
Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis
terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT
(Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa
Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak
sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari
Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL)
tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah
rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah
endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu
rata-rata 20 °C.
Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek
Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar
menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan
tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis,
sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah,
karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak
usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan
hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah
telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun
fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha
pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca
atau menulis.
Asal Usul
Menurut kepercayaan yang mereka
anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh
dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan
dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam
dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik
(mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang
Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya
dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan
perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar
Sunda’ yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan
Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan
Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten,
wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan
Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat
dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil
bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang
disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu
dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang
sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit
di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang
khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai
sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut
(Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa
pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang
mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan
musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang
pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut.
Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai
daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri
pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari
Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986:
4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala’ (kawasan
suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara
kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau
Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda
Asli’ atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah
agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah
Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Ada versi lain dari sejarah suku
baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia
setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang
prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan ‘wangsit siliwangi’
yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke
penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar
hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan.
Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu
Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy
dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti
akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki
saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi
oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih
ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar
memenangkan kebenaran
Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes
yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek
moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh
agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan
adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan
sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari ‘pikukuh’
(kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau
perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu
beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek
tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan
sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk
pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang,
sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak,
tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang
diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa
adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang.
Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam
berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi
masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap
paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan
pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan
dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa
anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di
kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan.
Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan
penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda
bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil
baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan
pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan
dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes
ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum
masuknya Islam.
Kelompok masyarakat
Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan
fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya.
Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes
menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup
mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing
dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga
kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana,
2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal
sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam),
yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung:
Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah
pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih.
Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang
Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh
adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam
antara lain:
- Tidak
diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
- Tidak
diperkenankan menggunakan alas kaki
- Pintu
rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un
atau ketua adat)
- Larangan
menggunakan alat elektronik (teknologi)
- Menggunakan
kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri
serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok masyarakat
kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy
Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah
Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan
lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian
dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari
adat dan wilayah
Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes
Dalam ke Kanekes Luar:
- Mereka
telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
- Berkeinginan
untuk keluar dari Kanekes Dalam
- Menikah
dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar
- Mereka
telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
- Proses
pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu,
seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat
Kanekes Dalam.
- Menggunakan
pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang
menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern
seperti kaos oblong dan celana jeans.
- Menggunakan
peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas
kaca & plastik.
- Mereka
tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
- Sebagian
di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang
muslim dalam jumlah cukup signifikan.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah
Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan
pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan
Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer
zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem
pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia,
dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua
sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak
terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa
yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan
secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu
"Pu'un".
Struktur
pemerintahan Kanekes
Pemimpin adat tertinggi dalam
masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu.
Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke
anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un
tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan
tersebut.
Mata pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama
ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu
mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang
mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Interaksi dengan masyarakat luar
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang
ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing,
terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar.
Berdirinya Kesultanan Banten yang secara
otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari
kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat
Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993).
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali,
berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur
Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang
pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar,
misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau
dilakukan secara barter, sekarang ini
telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang
Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga
membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi
orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung,
dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang
mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per
kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga
para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan
untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti
adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak
boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di
sungai. Namun, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI).
Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak
masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak
terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar
wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi
dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah
kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan
tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang
untuk mencukupi kebutuhan hidup